Sunday, October 12, 2008

Rindu Aceh...

Setibanya "wali nangro" Hasan Muhammad di Tiro (Hasan Tiro) di tanah rencong rasa rinduku kepada tanah yang sama juga semakin mendera. Tak bisa membayangkan bagaimana pak Wali bisa melewati tiga dekade tanpa pernah menghirup udara Aceh. Baru saja di awal tahun 2006 aku kembali berkunjung ke Aceh dan berlibur bersama anak2 selama dua bulan, namun rasanya sudah berabad yang lalu kutinggalkan, kerinduanku ke negeri serambi mendera kembali.

Aceh tanah lon sayang...begitulah kami selalu menyebutnya. Memang tidak mudah untuk dilupakan. Sekali anda menghirup udaranya, anda selalu ingin kembali kesana. Konon lagi kalau udara itu dihirup dari detik anda hadir di dunia ini? Tak ada yang bisa memutuskan cinta kasihmu terhadap tanah leluhurmu...kecuali dirimu sendiri, yang mengingkari bagian dirimu yang menjadikanmu saat ini. Tanah leluhur selalu setia menanti anda untuk kembali. Meski masih banyak saudara2 disana, kita harus realistis...bahwa suatu saat semua akan pergi...tapi tanah air tetap disana menantimu.

Di mesjid Baiturahman pak Wali kembali dielu2kan oleh masyarakat Aceh, di mesjid itu pula akad nikahku diucapkan, mesjid agung keramat itu yang mengantarkanku tiba disini. Siapa bisa melupakan "kuta raja" ini, kalau setiap tempat dan hampir setiap sudut pernah kupahat sejarah dan kenangan? Dan hampir setiap umat seantero Aceh aku kenal?

Aceh kutinggalkan di pertengahan tahun 1995. Bukan saja saudara2ku yang menangis melepas kepergianku. Aceh pun berduka! Sungguh...Aceh bergejolak, Aceh menangis semua berawal di tahun2 kepergianku. Begitu tanah rencong kutinggalkan, dia tak pernah sama lagi.

Diawali dengan krisis moneter hingga bergejolaknya perang yang menuntut Aceh Merdeka, disusul dengan referandum. Pemerintah Indonesia kemudian menurunkan militer2nya di Aceh sebagai daerah rawan, gawat darurat yang benar2 menyulitkan kepulangan kami ke tanah air. Kemudian gempa tsunami meluluh lantakkan tanah Aceh, mengambil ratusan ribu nyawa yang sebenarnya sudah banyak habis akibat perang, dan akhirnya diberikannya otonomi khusus oleh pemerintah Indonesia Aceh sebagai negeri bersyariah. Cukup sudah air mata yang terkuras oleh masayarakat Aceh, cukup sudah harta dan jiwa terampas!

Bayangkanlah...kejadian ini semua terjadi setelah kutinggalkan! Aku tidak pernah merasakan hidup dalam ketakutan yang dialami orang2 Aceh pada masa perang. Dimana hampir setiap malam selalu terdengar suara ledakan atau tembak2an. Ketakutan keluar di waktu malam. Dalam masa rawan itu...aku ada berkunjung ke Aceh beberapa kali... aku masih ingat Khadija sakit panas tengah malam. Perjalanan membawa Khadija ke dokter cukup menegangkan. Di dalam mobil kami selalu berdoa, di malam gerimis itu... hampir setiap jarak 1 kilometer kita harus berhenti diperiksa oleh militer dengan senapan yang jelas sekali diarahkan ke kita. Proses pemeriksaan ini bagi yang belum pernah merasakannya selalu merasa hidup dan matinya dikompromikan saat itu. Paling tidak itulah yang aku rasakan... karena di setiap pemberhentian kita tidak tahu pasti siapa yang menyetop kita sampai kita benar2 diperiksa. Alhamdulillah selama aku disana semua terlewati dengan aman, meski tak seharusnya aku melalui masa2 itu.

Kunjunganku tahun 2004 di masa gawat darurat. Aceh masih dibawah pengawasan militer. Setiap minggu anak2ku yang berpasport Amerika harus melaporkan diri ke kantor polisi, yang bukan saja menyita waktu dan biaya, bahkan air mata?! Kok bisa sebegini sulitnya...anak2 yang masih berbau kencur saja dipertanyakan kehadirannya... begitu tertutupnya Aceh kepada dunia luar.

Di penghujung tahun 2004 Acehpun hancur...habis dilebur ombak tsunami. Masha Allah... baru saja beberapa bulan berselang setelah kutinggalkan. Meski tidak pernah mengalami secara langsung semua kejadian2 yang maha dahsyat itu, tidak sedikitpun mengurangi kecintaanku kepada tanah air. Tidak sedikitpun aku merasa bahwa bagian dari ke Acehanku berkurang...tidak sama sekali. Bahkan... rasa cintapun bertambah dalam. Jeritan tangis masyarakat Aceh, kurasakan lebih berat disini jauh di rantau orang. Perasaan tak bisa berbuat banyak untuk tanah air membuat diriku lebih tersiksa lagi.

Kini Aceh telah damai...pak Walipun akhirnya kembali menginjakkan kakinya di bumi Seulawah. Bagaimana pak Wali bisa membunuh kerinduannya kepada tanah leluhurnya selama ini tak ada yang bisa memahami kecuali beliau sendiri... karena hanya aku sendiri jualalah yang tau bagaimana rasa rinduku kepada Nangro Aceh Darussalam. Hasrat untuk kembali ke tanah air begitu menyiksa! Insha Allah... dengan damainya Aceh kunjungan kami berikutnya akan lebih mudah. Selamat datang pak Wali...

Bersambung...

No comments: